Hikayat Si Kembar dari Banyuwangi
Disebuah desa yang terletak di utara Banyuwangi, hiduplah
seorang laki-laki yang bernama Nuzum dan istrinya yang bernama Dewi Esa. Selama
20 tahun mereka hidup bersama, namun tidak dikarunia seorang anak. Mereka
selalu mensyukuri apa yang ditakdirkan Tuhan. Nuzum dan Dewi selalu berdoa agar
secepatnya dikarunia anak. Mereka hidup serba berkecukupan. Nuzum dan Dewi adalah
seorang yang tersohor didesanya. Orang-orang disekelilingnya selalu mendoakan
agar Nuzum dan Dewi segera mendapat momongan.
Pada
suatu malam Dewi bermimpi bahwa ia akan dikarunia anak kembar. Di dalam
mimpinya Dewi sedang berada di laut Kidul. Dewi membawa sesaji lengkap untuk
dihanyutkan ke laut pada saat matahari tenggelam. Ia berdoa agar segera
dikarunia anak. Ketika Dewi hendak pulang ke rumahnya, ia bertemu dengan
seorang lelaki tua yang memakai baju compang-camping dengan tongkat di tangan
kanannya. Pak tua itu berkata bahwa Dewi akan dikaruniai anak kembar namun
salah satu dari mereka akan menimbulkan petaka besar. Mendengar kata-kata pak
tua itu Dewi melangkahkan kakinya dengan cepat untuk kembali ke rumahnya.
Dewi menceritakan
mimpinya tersebut kepada suami. Nuzum tak percaya dengan mimpi itu dan ia tak
memperbolehkan istrinya melakukan apa yang ada di mimpi itu. Dewi menghembuskan
nafas dan ia menuruti perintah suami. Kemudian Dewi menceritakan mimpinya itu
kepada Mbok Nah. Mbok Nah adalah pembantu sekaligus orang kepercayaan Dewi.
Mbok Nah menyarankan agar Dewi melakukan apa yang ada dalam mimpinya. Mbok Nah
yakin bahwa mimpi Dewi adalah petunjuk bahwa Dewi akan segera dikarunia anak. Dengan
rasa was-was Dewi melangkahkan kaki menuju pantai. Dewi membawa sesaji lengkap yang
dihanyutkan ke laut. Sembari ia berdoa, muncullah seorang lelaki tua yang mirip
dengan sosok yang ada dimimpinya. Memakai baju compang-camping dengan tongkat
ditangan kanannya dan berkata “Jika anak itu lahir, kasih sayangilah dia. Namun
salah satu dari mereka akan mendatangkan petaka besar untuk keluargamu”. Dewi
sangat ketakutan. Dewi selalu memikirkan amanat pak tua itu. Di dalam mimpi dan
dunia nyata pak tua itu benar-benar ada. Dewi menceritakan kejadian itu kepada
mbok Nah. Mbok Nah menyarankan Dewi untuk pergi ke dukun beranak untuk
mengetahui apakan ia hamil atau tidak.
Satu minggu kemudian Dewi
pergi ke gubuk seorang dukun beranak yang bernama mbok Sri dengan ditemani Mbok
Nah. Namun, tak ada hasil. Ternyata Dewi belum mengandung. Mbok Sri pun memberi
mantra kepada Dewi dan berkata “Minumlah jamu ini. Dan datanglah kemari dua
minggu lagi, nak!”. Dewi mengiyakan perintah Mbok Sri. Dua minggu berlalu
datanglah Dewi ke gubuk Mbok Sri. Mbok Sri terkejut, ternyata Dewi telah
mengandung. “Beruntungnya kau nak, kau akan dikarunia anak kembar” ucap Mbok
Sri. Dewi terkejut dan teringat akan amanat pak tua. Pulanglah Dewi untuk bercerita
kepada suaminya bahwa ia telah mengandung. Nuzum sangat senang dengan berita
itu.
Malam harinya Nuzum
mengadakan syukuran dengan mengundang warga desa untuk makan bersama di
rumahnya. Betapa bahagianya Nuzum dengan kehamilan istrinya. Dewi dan Nuzum
selalu berdoa agar keluarganya senantiasa dalam lindungan Tuhan.
Pada saat kehamilan Dewi
dalam usia tujuh bulan, ada dua orang lelaki bertopeng masuk ke rumahnya dengan
membawa senjata tajam. Dua orang lelaki itu menguras habis barang-barang
berharga di rumahnya. Ketika kedua perampok hendak meninggalkan rumah, Nuzum
memergoki perampok itu. Nuzum berkelahi dengan dua orang lelaki tersebut. Dewi
ketakutan, lalu ia memanggil warga desa untuk meminta pertolongan. Datanglah
seorang Kyai yang membantu Nuzum dalam menghadapi perampok itu. Karena dua
perampok itu menggunakan ilmu hitam maka dengan mudah Nuzum kalah dalam
pertarungan. Pak Kyai membantu Nuzum dengan tenaga dalamnya sembari memanjatkan
doa-doa khusus untuk mengalahkan perampok tersebut. Dengan kehendak Tuhan
akhirnya terbunuhlah kedua perampok itu dengan golok yang mereka bawa sendiri. Nuzum
mengalami luka dalam yang sangat parah. Pak Kyai mengobati luka Nuzum
menggunakan ramuan herbal dari daun-daunan. Selama tiga bulan lamanya Nuzum tak
sadarkan diri. Dewi selalu setia menemani Nuzum. Dewi pun sudah memanggil
beberapa tabib untuk mengobati suaminya, tetapi tidak ada hasil. Selama Nuzum
tak sadarkan diri, Dewi hanya berdua dengan mbok Nah. Mbok Nah yang sangat baik
pada Dewi setiap hari memberi nasehat agar Dewi mampu melewati hari-hari tanpa
suaminya.
“Masa kehamilan saja
sudah banyak kejadian buruk yang menimpa keluargaku. Bagaimana jika bayi ini
sudah lahir? Akankah kejadian buruk ini bertambah atau nihil?” tanya Dewi dalam
hati. Suatu ketika Nuzum mulai sadar. Selama tiga bulan lamanya ia tertidur.
Nuzum menyalahkan dirinya sendiri. Ia menyesal tak mampu memberi kebahagiaan
selama masa kehamilan istrinya. Ia meminta maaf kepada Dewi karena ia tidak
dapat menjaga istri dan anaknya. Nuzum juga berterima kasih kepada Dewi selama
tiga bulan Dewi setia merawat Nuzum.
Keesokan
harinya, Dewi menjerit kesakitan. Tiba-tiba perutnya sakit. “Mungkin anakmu
akan segera lahir, ini sudah bulan ke-sembilan kehamilanmu” saut mbok Nah. Lalu
Dewi menyuruh mbok Nah mengantarkan Dewi ke gubuk mbok Sri. Ternyata benar Dewi
akan segera melahirkan. Sampai di gubuk mbok Sri, ia menyuruh mbok Nah kembali
ke rumahnya. Dewi hanya seorang diri. Mbok Sri yang membantu persalinan Dewi.
Setelah bayinya lahir, Dewi terkejut ia benar-benar melahirkan putra kembar. Dewi
sangat ketakutan. Ia teringat akan perkataan pak tua yang pernah ia temui di
pantai. Dengan sangat menyesal Dewi menyuruh mbok Sri untuk membuang salah satu
dari bayi laki-laki itu. Mbok Sri menyiapkan kotak untuk tempat bayi. Dewi
meletakkan dua ekor ikan mas di dalam kotak itu untuk menemani putranya
tersebut. Mbok Sri dan Dewi telah sepakat untuk merahasiakan kejadian ini. Dewi
pulang dengan wajah ceria sambil menggendong bayinya. Nuzum sangat senang
dengan kelahiran putra pertamanya. Nuzum memberi nama Bayu untuk sang buah hati.
Tanpa sepengetahuan Dewi, ternyata mbok Sri tidak membuang bayi itu, tetapi ia
memberikan bayi itu kepada saudaranya yang bernama Galuh. Galuh sangat
menginginkan seorang anak yang menemani masa tuanya. Suami Galuh meninggal dan
ia belum mempunyai anak. Galuh bahagia merawat bayi kecil sekaligus dua ekor
ikan mas tersebut. Galuh memberi nama Wangsa untuk bayinya.
Nuzum,
Dewi dan Bayu hidup bahagia dan serba berkecukupan. Apa yang dibutuhkan sudah
tercukupi. Berbeda dengan Wangsa, sejak kecil dia bekerja keras membantu
ibunya. Wangsa berdagang buah-buahan di pasar, dia juga mencari kayu bakar di
hutan. Pagi hari Wangsa pergi ke pasar, dan siangnya dia mencari kayu bakar.
Sedangkan Galuh menganyam bambu pesanan warga desa di rumahnya. Sore hari
Wangsa mengantarkan pesanan anyaman bambu untuk warga yang memesan. Setelah itu
Wangsa kembali ke rumah sambil mencari bambu di tepi sungai. Keesokannya Wangsa
dan ibunya selalu melakukan hal yang sama.
Setelah Bayu dewasa,
Nuzum mulai menyadari harta yang ia miliki berkurang sedikit demi sedikit. Bayu
melakukan judi dan sabung ayam bersama kawan-kawannya. Bayu selalu keluar malam
dan pulang pagi. Pada malam hari ketika ayah dan ibunya tertidur, Bayu keluar
rumah diam-diam. Bayu sering menjual barang-barangnya untuk modal berjudi. Hari
demi hari Bayu melakukan hal yang sama. Mbok Nah yang melihat perbuatan tercela
Bayu ingin mengadukannya kepada Nuzum dan Dewi. Tetapi mbok Nah diancam oleh
Bayu, jika mbok Nah mengadu kepada orang tua Bayu maka mbok Nah akan diusir
dari rumahnya.
Tanpa sepengetahuan
ayahnya, Bayu sering mengendap-endap masuk ke kamar Nuzum dan Dewi untuk
mengambil uang dan emas. Bayu menggunakan sebagian uang untuk judi dan sebagian
lagi untuk bekal dia pergi ke dukun meminta jimat kemenangan. Mbok Nah berusaha
menasehati Bayu untuk tidak mencuri, namun Bayu membentak dan bersikap kasar
pada mbok Nah. Mbok Nah yang melihat kejadian itu tak kuasa untuk mengadu pada
tuannya. Mbok Nah tak mau kehilangan akal. Mbok Nah menceritakan kisah yang
menarik kepada Bayu. Kisah tentang seekor burung dalam sangkar yang tidak bisa
keluar dengan leluasa seperti Bayu. Namun mbok Nah hanya mendapat makian dan cacian
yang sangat kasar. Mbok Nah selalu menasehati Bayu melalui cerita-cerita
menariknya yang berbeda-beda setiap hari, walaupun Bayu tidak pernah menghiraukannya.
Saat
Bayu berusia tujuh belas tahun, dia pergi ke dukun untuk berguru ilmu gaib.
Bayu berkeinginan menjadi orang terkuat di desanya dan memiliki kekuatan yang
tak terkalahkan. Mendengar penjelasan Bayu, si dukun memberi sebuah keris sakti
yang sudah dimantrai. Dukun itu berpesan kepada Bayu “Gunakanlah keris ini untuk
kebaikan! Jika kau gunakan untuk kejahatan, maka keris itu akan membunuh
pemiliknya”. Bayu menyanggupi syarat tersebut, dia berjanji akan selalu berbuat
baik kepada siapa pun. Namun pada akhirnya janji yang terucap dia ingkari. Bayu
menggunakan keris itu sebagai pegangan perjudian. Bahkan Bayu pernah
menggunakan keris itu untuk membunuh siapa saja yang membantah kepadanya.
Suatu
masa, Bayu bertemu dengan Wangsa yang sedang menjual buah-buahan di pasar. Bayu
melahap habis buah-buahan yang dijual Wangsa. Tetapi Bayu tak mau membayar.
Wangsa menegur Bayu untuk segera membayar. Bayu berjanji akan segera membayar
esok.
Keesokannya Bayu datang ke pasar. Bayu memakan buah-buahan
Wangsa lagi. Wangsa menagih janji Bayu yang akan membayar buah-buahan yang
telah ia makan. Tetapi Bayu tidak mau membayar dan dia mencemooh Wangsa dengan
kata-kata kasar. Tanpa berpikir panjang Bayu memukul Wangsa dengan kekuatan
yang dimiliki. Para pedagang terkejut akan keberanian Wangsa melawan Bayu.
Wangsa juga mempunyai kekuatan yang luar biasa. Mereka berdua saling pukul
memukul. Bayu mengeluarkan keris saktinya untuk melawan Wangsa. Wangsa yang
tidak berbekal senjata apapun dengan santai menghadapi Bayu tanpa kesombongan.
Pada akhirnya Wangsa mampu mengalahkan Bayu. Warga yang saat itu melihat
kejadian sangat senang ketika Wangsa dapat mengalahkan orang tersombong di
desanya yaitu Bayu. Kini warga menyadari bahwa Wangsa bukan hanya seorang yang
lemah, tetapi Wangsa adalah seorang yang hebat. Warga pun menghormati Wangsa
dan keluarganya.
Bayu pulang dengan wajah
memar. Sang ayah murka, tak kuasa menahan amarahnya kepada Bayu. Bayu memberi
perlawanan kepada ayahnya dengan menggunakan keris saktinya. Nuzum tergeletak
di tanah. Dewi menangis melihat perkelahian itu. Ia mencoba menghentikannya dan
berusaha meminta bantuan kepada tetangganya. Namun Bayu meninggalkan rumah
dengan wajah kesal. Mbok Nah yang tadinya pergi ke pasar, membawa Wangsa ke
rumah Dewi untuk mengobati luka Nuzum. Wangsa terkenal akan sosok pribadi yang
santun dan baik hati. Wangsa juga pandai dalam meramu tanaman herbal. Keahlian
Wangsa dalam meramu memberikan ide bagi Nuzum untuk mempekerjakan Wangsa di
rumahnya sebagai tabib. Wangsa meminta izin kepada ibu Galuh untuk bekerja di
rumah tuan Nuzum. Ibu Galuh memberi restu untuk Wangsa. Tuan Nuzum mengizinkan
Wangsa untuk memboyong ibunya untuk bekerja dirumahnya pula. Wangsa segera
memberitahukan kepada ibunya. Galuh bersedia bekerja di rumah Nuzum, ia ingin
selalu dekat dengan putra kesayangannya. Dan ibu Galuh bekerja sebagai tukang
cuci.
Bayu meninggalkan rumah
untuk pergi ke sungai Mahakam. Bayu bertapa untuk mendapatkan kekuatan yang
dapat mengalahkan Wangsa. Bayu bertapa selama satu tahun tanpa makan dan minum.
Selama Bayu mengasingkan diri di tepi sungai Mahakam, rumah tuan Nuzum terasa
sangat damai. Tidak ada pertengkaran antara anak dan ayah lagi. Dengan adanya
Wangsa di rumahnya, membuat hari-hari Nuzum dan Dewi tidak kesepian. Wangsa
selalu membuat candaan agar orang-orang seisi rumah Nuzum selalu gembira. Nuzum
dan Dewi telah menganggap Wangsa seperti anak kandungnya sendiri.
Tidak lama kemudian,
desas-desus mengatakan bahwa Bayu akan datang ke rumah ayahnya setelah dia
bertapa selama satu tahun. Bayu memperkuat tenaga dalamnya untuk mengalahkan
Wangsa. Mendengar kabar tersebut, mbok Sri pergi mengunjungi Wangsa. Mbok Sri
memberi wanti-wanti kepada Wangsa dan ia berpesan “Rawatlah ikan mas yang ada
pada ibumu. Kelak kau akan mengetahui siapa keluargamu yang sebenarnya”. Wangsa
terkejut akan perkataan mbok Sri. “Ibu Galuh adalah keluargaku mbok, beliau ibu
kandungku” tegas Wangsa. “Maafkan aku selama ini aku berbohong padamu, nak. Aku
hanya wanita beruntung bisa merawat anak yang berbudi baik sepertimu. Kamu tidak terlahir dari
rahimku. Ibu kandungmu memberi ikan mas untuk menjadikannya temanmu. Maafkan
aku telah menyembunyikan ikan itu darimu” saut ibu Galuh.
Wangsa bertekad untuk
mencari ibu kandungnya. Wangsa membawa ikan mas ke rumah tuannya. Dia
meletakkan ikan mas di kolam pekarangan rumah Nuzum. Wangsa selalu menyambangi
ikannya. Dia memberi makan ikan-ikan tersebut. Tanpa kesengajaan Dewi memergoki
Wangsa sedang memberi makan ikan-ikan. Ia bertanya kepada Wangsa mengapa Wangsa
sangat rajin merawat ikan-ikannya. Wangsa menjawab pertanyaan Dewi dengan
jelas, dia menjelaskan bahwa dia bukan anak ibu Galuh dan dia diberi dua ekor
ikan untuk temannya. Oleh karena itu, Wangsa merawat dua ekor ikan yang kini
bertambah banyak jumlahnya agar dapat menemukan ibu kandungnya.
Mendengar jawaban singkat
itu, Dewi teringat akan bayi laki-laki
yang ia lahirkan lalu ia berikan kepada mbok Sri. Dewi termenung, karena
ia juga telah memberikan dua ekor ikan mas untuk anak yang ia buang. Dewi
bertanya-tanya apakah Wangsa itu benar-benar anak kandungnya. Tanpa berpikir
panjang Dewi memutuskan untuk pergi ke gubuk mbok Sri. Ia mengungkapkan semua
masalahnya. Mbok Sri menjelaskan kejadian yang sebenarnya bahwa Wangsa adalah
anak kandungnya.
Suatu malam, datanglah
Bayu ke rumah Nuzum. Dia mencoba menghampiri dan mengalahkan Wangsa. Mereka
bertarung habis-habisan di halaman belakang rumah Nuzum. Dewi, Nuzum, Galuh dan
pembantunya serentak menuju ke halaman belakang setelah mendengar keributan itu.
Dewi mencoba melerai namun sudah terlambat. Bayu menjadi korban keegoisannya
sendiri. Bayu terbunuh oleh kerisnya sendiri. Bayu tewas di tempat kejadian dan
dia belum minta maaf kapada kedua orang tuanya. Dewi meneteskan air mata. Dewi
menyesal ia belum menceritakan bahwa Bayu bersaudara dengan Wangsa. Dewi
menyadari perkataan pak tua kini menjadi nyata. Kemudian datanglah mbok Sri di
rumah Dewi. Ia menceritakan kejadian sembilan belas tahun yang lalu. Wangsa
terkejut setelah dia tahu bahwa Dewi adalah ibu kandungnya. Nuzum tidak percaya
akan penjelasan mbok Sri. Dewi berusaha memperjelas dan menceritakan kejadian
demi kejadian yang ia lakukan tanpa sepengetahuan suaminya.
Kini Nuzum percaya dan
mengakui Wangsa dan Bayu adalah putra kembarnya. Penyesalan menghantui pikiran
Dewi. Ia merasakan kesedihan sekaligus kebahagiaan. Setelah meninggalnya Bayu,
Dewi dan Nuzum merasakan kebahagiaan dengan adanya Wangsa. Wangsa selalu
menghormati Bayu dengan datang ke makam dan melantunkan doa-doa untuk Bayu.
Kerukunan ayah, ibu dan anak sangat terlihat dalam keluarga Nuzum. Orang-orang
di sekitarnya menghormati keluarganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar